KENDALI DIRI DALAM SITUASI SULIT
*KENDALI DIRI DALAM SITUASI SULIT*
(Serial Spiritual Healing In Haramain-QERM Oktober 2023)
Bagian 1
_By. M. Nadhif Khalyani_
Hari itu Ia mengucapkan kalimat yang berat, bahkan mungkin paling berat untuk diucapkan oleh seorang istri di masa sekarang.
Namun, Ibunda Sarah memutuskan untuk mengucapkannya, _“Sungguh Rabb tidak memberiku anak. Maka silahkan engkau gauli budak milikku ini, mudah-mudahan Alloh memberikanku seorang anak darinya.”_
Lalu, Ibunda Sarah menghadiahkan Hajar kepada Ibrahim. (Ibnu Katsir dalam Qashashul Anbiya, hal 251).
Memiliki keturunan adalah impian bagi semua keluarga, namun yang ada dalam batin ibunda Sarah dan Nabi Ibrahim tentu tidak “sesederhana itu”.
Tetapi keturunan yang akan melanjutkan risalah kenabian.
Ini misi besar yang hanya bisa diemban oleh orang luar biasa, yang melebihi batas-batas kemampuan manusia biasa. Maka tidak mengherankan jika Ibunda Sarah bersikap dengan cara yang tidak biasa dilakukan oleh kebanyakan wanita.
Tetapi sisi manusia biasa pada orang-orang sempurna, tetap ada, dan ada saatnya muncul.
Hanya saja ia bisa bersikap dengan sikap terbaik.
_Berselang waktu setelah itu, Ibunda Hajar pun hamil…_
Kegembiraan hadir, namun pada saat yang sama, benih-benih kecemburuan pun bersemi dalam diri Ibunda Sarah.
“Silahkan engkau perlakukan dia seperti yang engkau mau” Kata Ibunda Sarah kepada Nabi Ibrahim. (Qashashul Anbiya, 251)
Ibunda Hajar pun menyadari hal itu.
Beliau khawatir dan takut, hingga beliau berlari dan singgah disebuah mata air. Disana beliau didatangi malaikat yang memberikan kabar, “Jangan takut, karena Alloh akan memberikan kebaikan melalui bayi yang engkau kandung ini.”
Kecemburuan ini nampak semakin memuncak saat Ibunda Hajar melahirkan Nabi Ismail.
Bahkan beliau, meminta Nabi Ibrahim membawa Ibunda Hajar pergi agar beliau tidak lagi melihatnya. (Ibnu Katsir, Qashashul Anbiya 253)
Namun, belum lagi reda “drama kecemburuan” ini, datanglah perintah Alloh.
Nabi Ibrahim diperintahkan untuk “hijrah” ke sebuah lembah tak berpenghuni, yang kelak tempat ini kita kenal dengan Makkah.
Demikianlah ‘cara’ Alloh mengintervensi kehidupan orang-orang mulia.
Hikmahnya, dengan perintah “hijrah” ini, kecemburuan “tak sempat” berubah menjadi kedholiman atau perbuatan buruk.
Kemuliaan beliau bertiga tetap terjaga sempurna.
Perjalanan pun dimulai, tetapi ada hal yang unik.
Ibnu Abbas menjelaskan, _"Ketika Hajar lari dari Sarah, ia menyeret ujung pakaiannya untuk menghapus jejaknya._ (tafsir Qurthubi Surah Ibrahim 37)
Sementara Ibnu Katsir mengatakan, _Ibunda Hajar mengenakan ikat pinggang seperti itu untuk menghapus jejaknya dari Sarah_ (Qashasul Anbiya, 254)
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Ibunda Hajar perlu menghapus jejaknya dari padangan Ibunda Sarah?
Apakah karena kesedihan, Takut ancaman, trauma ?
Mengapa beliau menghapus jejaknya dan tidak menghapus jejak Nabi Ibrahim yang berjalan bersamanya?
Disinilah letak kelembutan dan kemuliaan Ibunda Hajar terlihat jelas.
Menurut saya, _beliau menghapus jejak itu justru untuk “menjaga perasaan” Ibunda Sarah, untuk meredakan api kecemburuan dalam dirinya._
Karena _mungkin lebih ringan melihat jejak Nabi Ibrahim sendirian dibandingkan melihat jejak Nabi Ibrahim bersama jejak Ibunda Hajar._
Tidak ada dendam, tidak ada sakit hati, tidak ada hal buruk dalam batin Ibunda Hajar. Karena beliau mungkin sangat menyadari bahwa kecemburuan ini wajar, bahkan beliau membantu meredakannya dengan menghapus jejaknya sendiri.
Perjalanan beliau bertiga ke tanah suci, dimulai dari kepatuhan atas perintah. Meski disaat bersamaan, disertai "drama", suasana batin yang mengharu-biru, pengorbanan saling menjaga dan memuliakan, dan jiwa besar.
Apakah setelah “drama” ini ada hal-hal mengharu biru sebagai manusia biasa yang dialami oleh beliau bertiga?
Mari kita selami sisi batin orang-orang pilihan ini…
*Bersambung…*
——————
Komentar
Posting Komentar