NAFKAH ADALAH HUTANG
#RuangBerbagi
*NAFKAH ADALAH HUTANG*
By M. Nadhif Khalyani
Seseorang bertanya kepada Syaikh Shalih Al Munajjid :
*Pertanyaan*
Suami saya baru memberikan nafkah kepada saya setelah pernikahan kami berjalan setahun lebih tiga bulan. Namun begitu selama jangka waktu tersebut dia telah membelanjakan harta yang banyak untuk kepentingan dirinya pribadi, dan ketika terjadi suatu permasalahan – sebagaimana kondisi saat ini – suami saya menghimbau agar saya meminta uang kepada ayah saya.
*Jawaban*
Terdapat dalam kitab Al Mughni, karangan Ibnu Qudamah Rahimahullah, 8/207 :
وَمَنْ تَرَكَ الْإِنْفَاقَ الْوَاجِبَ لَامْرَأَته مُدَّةً ، لَمْ يَسْقُطْ بِذَلِكَ ، وَكَانَتْ دَيْنًا فِي ذِمَّتِهِ ، سَوَاءٌ تَرَكَهَا لَعُذْرٍ أَوْ لغير عذر
“Barangsiapa tidak memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya pada jangka waktu tertentu, maka yang demikian itu tidak serta-merta gugur dari tanggung jawabnya.
Bahkan merupakan hutang yang harus dilunasi, baik meninggalkan hal ini karena uzur maupun bukan karena uzur.”
Dan didalam kitab Syarh Muntahal Iradaat, 3/230 disebutkan:
“Barangsiapa yang meninggalkan istrinya dalam kurun waktu yang tiada batasnya dan pada masa-masa tersebut dia tidak memberikan nafkah kepadanya, maka wajib atas suami memberikan nafkah kepada istri selama kurun waktu yang ia tinggalkan itu.
Sebab statusnya sebagai seorang istri tetap menjadi tanggungannya meskipun hakim tidak mewajibkannya.
Karena Umar bin Khathab menulis dan mewajibkan kepada bagian yang mengatur urusan pasukan kaum muslimin agar mereka mencatat kaum lelaki yang meninggalkan istri-istri mereka, serta memerintahkan agar mereka memberikan nafkah kepada istrinya atau menceraikan mereka.
Maka jika mereka menceraikan istrinya, mereka diperintahkan mengirimkan nafkah kepadanya selama waktu-waktu yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hak istri yang wajib dipenuhi, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan tanggungan tersebut tidak gugur dengan berlalunya zaman, sebagaimana kewajiban yang tetap menjadi tanggungan bagi orang yang menyewa rumah di tempati ataupun tidak maka dia tetap harus membayar sewanya."
Sebagai bahan perhatian bahwa sesungguhnya kewajiban dalam memberikan nafkah adalah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh istri berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan atau membayarkan harga kebutuhan tersebut kepada istri, dan jika suami telah menyediakan semua kebutuhan tersebut, maka tidak ada lagi kewajiban atasnya untuk memberikan kepada istri berupa uang.
(Syaikh Shalih Al Munajjid, Sual Wal Jawab Fil Islam)
Sahabat sekalian, para Ayah....
Secara fiqh, penjelasan Syaikh tadi seolah memberatkan para lelaki.
Namun sebenarnya tidak... Karena...
*Pertama,* Tidaklah Alloh melebihkan kedudukan lelaki atas istrinya kecuali karena nafkah yang ia berikan pada istrinya. Ini artinya laki-laki pasti dibekali kemampuan untuk menjalankan amanah ini.
*Kedua*, menafkahi itu naluri laki-laki.
Jika peran Anda serahkan kepada istri, maka cepat atau lambat batin Anda akan tertekan. Anda akan sibuk mencari alibi, menutup diri, minder. Bahkan istri pun akan menutupi dari keluarga besarnya atau kepada anak-anaknya.
Karena bagi seorang laki-laki, memberi adalah fitrah, naluri alami, dan bahkan harga diri. Batin para suami, istri, hingga anak-anak pun mengerti tentang hal ini
Maka menafkahi adalah proses mempertahankan kehormatan diri laki-laki.
Sahabat sekalian, tulisan ini adalah renungan untuk laki-laki...
Tidak selayaknya, wanita yang membaca tulisan ini, menjadi hilang rasa hormat kepada suaminya, menjatuhkan, bahkan menuntut suaminya secara berlebihan. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan menuntut.
Yang benar adalah, istri bersabar dan membantu, Sedangkan suami berusaha keras. Karena bagi istri nafkah itu bukan soal jumlah, namun keridhoan atas ikhtiar terbaik.
Para istri,...
Jika hari ini Anda mengambil peran untuk menafkahi, tetap bersabar dan bersyukurlah, karena membantu suami mencari nafkah adalah sebaik-baik sedekah
Wallohua'lam
Komentar
Posting Komentar